Rabu, 27 Agustus 2014

TUGAS KELOMPOK MATERI KEMUHAMMADIYAHAN

1. Baca materi khittah perjuangan Muhammadiyah dan diskusikanlah materi tersebut dengan teman kelompokmu

2. Kembangkalah materi yg diberikan utk dipresentasekan didepan kelompok lainnya (boleh dikembangkan/ditambah dengan referensi yg lain

3. pengembangan materi minimal 3 halan kertas hps/polio ukuran legal

4. Pembagian materi :

KLP 1 SEJARAH, PENGERTIAN, MAKSUD DAN TUJUAN KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

KLP 2  LANGKAH 12 MUHAMMADIYAH (LANGKAH 1-6)

KLP 3 LANGKAH 12 MUHAMMADIYAH (LANGKAH 7-12)

KLP 4 KHITTAH PALEMBANG

KLP 5 KHITTAH UJUNG PANDANG

KLP 6 KHITTAH SURABAYA

Catatan : kalau ada yang belum dipahami boleh bertanya diblog ini atau call ke 085242097090


Kamis, 14 Agustus 2014

MUKADDIMAH ANGGARAN DASAR MUHAMMADIYAH



MUQADDIMAH ANGGARAN DASAR MUHAMMADIYAH

A. SEJARAH PERUMUSAN
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah disusun dan dirumuskan oleh Ki Bagus Hadikusuino sebagai hasil penyorotan dan pengungkapan kembali terhadap pokok-pikiran pokok-pikiran yang dijadikan dasar amal usaha dan perjuangan Kyai Ahmad Dahlan dengan menggunakan wadah persyarikatan Muhamnadiyah. Rumu¬san “Muqaddimah” diterima dan disahkan oleh Muktamar Muhammadiyah ke 31 yang dilangsungkan di kota Yogya¬karta pada tahun 1950, setelah melewati penyempur¬naan segi redaksional yang dilaksanakan oleh sebuah team yang dibentuk oleh sidang Tanwir. Team ponyem¬purnaan tersebut anggota-anggotanya terdiri dari – Buya HAMKA, K.H. Farid Ma’ruf, Mr. Kasman Singodime¬djo serta Zain Jambek.
Muqaddimah Anggaran Dasar Muhamnadiyah disusun dan dirumuakan baru pada periode Ki Bagus Hadikusu¬mo, sebab-sebabnya antara lain :
1. Belum adanya kepastian rumusan tentang cita-cita dan dasar perjuangan Muhammadiyah
Kyai Ahmad Dahlan membangun Muhammadiyah bu¬kannya didasarkan pada teori yang terlebih dahulu dirumuskan secara ilmiyah dan sistematis. Akan teta¬pi apa yang telah diresapinya dari pemahaman agama yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits beliau segera diwujudkan dalam amalan yang nyata. Oleh karena itu Kyai Ahmad Dahlan lebih tepat dikatakan sebagai seorang ulama yang praktis, bukan¬nya ulama teoritis.
Pada awal perjuangan Muhammadiyah, keadaan serupa itu tidak mengaburkan penghayatan seseorang terhadap Muhammadiyah, baik ia seorang Muhammadiyah sendiri ataupun seorang luar yang berusaha memahami¬nya. Akan tetapi serentak Muharrmadiyah semakin luas serta bertambah banyak anggota dan simpatisannya mengakibatkan semakin jauh mereka dari sumber gagas¬an. Karena itu wajar apabila terjadi kekaburan peng¬hayatan terhadap dasar-dasar pokok yang menjadi daya pendorong Kyai Ahmad Dahlan dalam menggerakkan per¬syarikatan Muharrmadiyah.

2. Kehidupan rohani keluarga Muhammadiyah menampak¬kan gejala menurun, akibat terlalu berat mengejar kehidupan duniawi.
Perkembangan masyarakat terus maju, ilmu pe¬ngetahuan dan teknologi tidak henti-hentinya menya¬jikan hal-hal yang membuat manusia kager dan mence-ngangkan, membuat dunia semakin ciut dan sempit; pengaruh budaya secara timbal-balik terjadi dengan lancarnya antara satu negara dengan negara lainnya baik yang bersifat positif ataupun yang bersifat negatif. Keadaan yang serpua itu tidak terkecuali mengenai masyarakat Indonesia.
Tersebab adanya perkembangan zaman serupa itu yang seluruhnya hampir dapat dinyatakan mengarah kepada kehidupan duniawi dan sedikit sekali yang mengarah kepada peningkatan kebahagiaan rohani, menyebabkan masyarakat Indonesia termasuk di dalam¬nya keluarga Muhavmadiyah terhimbau oleh gemerlapan kemewahan duniawi.

3. Makin kuatuya berbagai pengaruh dari luar yang langsung atau tidak berhadapan dengan faham dan keyakinan Muhammadiyah
Bersama dengan perkembangan zaman yang membawa berbagai perubahan dalam masyarakat, maka tidak ketinggalan pengaruh cara-cara berfikir, sikap hidup atau pandangan hidup masuk ke tengah-tengah masyara¬kat Indonesia. Selain banyak yang bermanfaat, tak sedikit yang dapat merusak keyakinan dan faham Mu¬hammadiyah.

4. Dorongan disusunnya preambul UUD 1945
Sesaat menjelang proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tokoh-¬tokoh pergerakan bangsa Indonesia dihimpun oleh pemerintah Jepang dalam wadah “Badan Penyelidik” usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang tugasnya antara lain mempelajari Negara Indonesia Merdeka. Dan di antara hal yang penting adalah terumus¬kannya “Piagam Jakarta” yang kelak dijadikan “Pembu¬kaan UUD 1945″ setelah diadakan beberapa perubahan dan penyempurnaan di dalamnya.
Pada saat merumuskan materi tersebut, para pimpinan pergerakan bangsa Indonesia benar-benar memusyawarahkan secara matang dengan disertai debat yang seru antara satu dengan yang lain, yang ditem¬puh demi mencari kebenaran. Pengalaman ini dialami sendiri oleh Ki Bagus Hadikusumo yang kebetulan terlibat di dalamnya kare¬na termasuk sebagai anggota BPUPKI. Beliau merasakan betapa pentingnya rumusan Piagam Jakarta, sebab piagam ini akan memberikan gambaran kepada dunia luar atau kepada siapapun tentang cita-cita dasar, pandangan hidup serta tujuan luhur bangsa Indonesia bernegara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat periode Ki Bagus Hadikusumo, adanya “Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” benar-benar sudah sa¬ngat diperlukan karena adanya beberapa alasan dan kenyataan tersebut.

B. FUNGSI MUQADDIMAH AD MUHAMMADIYAH
Bagi persyarikatan Muhammadiyah, Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah berfungsi sebagai . “Jiwa dan semangat pengabdian serta perjuangan per¬syarikatan Muhammadiyah”.

C. MATAN ATAU ISI POKOK

Muqoddimah Anggarah Dasar Muhammadiyah

“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah dan Pe¬nyayang. Segala puji bagi Allah yang mengasuh semua alam; yang Maha Pemurah dan Penyayang; yang memegang pengadilan pada hari kemudian; Hanya kepada Kau hamba menyembah dan hanya kepada Kau hamba mohon pertolongan; Berilah petunjuk kepada hamba jalan yang lempang; Jalan orang-orang yang telah Kau beri kenikmatan, yang tidak dimurkai dan tidak tersesat lagi”. (al-Qur’an surat al¬Fatihah).

“Saya ridha, bertuhan kepada Allah, beragama kepada Islam dan bernabi kepada Muhammad Rasulul¬lah Shallal ahu ‘alaihi wasallam”.
1. Amma ba’du, Bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Bertuhan dan ber¬ibadah serta tunduk dan ta’at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia.
2. Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat-iradat) Allah atass kehidupan manusia.
3. Masyarakat yang sejahtera, aman, damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diujudkan di atas dasar keadilan, kejujuran, persaudaraan dan go¬tong-royong bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pada pengaruh syaitan dan hawa nafau. Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya Pdcok hukum dalam masyarakat yang utama dan seba¬ik-baiknya.
4. Menjunjung tinggi hukum Allah lebih dari pada hukum yang manapun juga, adalah kawajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepa¬da Allah. Agama Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh sekalian Nabi, sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. dan diajarkan kepada unmatnya masing-masing untuk mendapatkan hidup bahagia dunia dan akhirat.
5. Syahdan, untuk menciptakan masyarakat yang baha¬gia dan sentosa sebagai yang tersebut di atas itu, tiap-tiap orang, terutama ummat Islam, ummat yang percaya akan Allah dan Hari Kemudian, wajib¬lah mengikuti jejak sekalian Nabi yang suci itu; beribadah kepada Allah dan berusaha segiat-giat¬nya mengumpulkan segala kekuatan dan memperguna¬kannya untuk menjelmakan masyarakat itu di dunia ini, dengan niat yang kurni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridla-Nya belaka serta mempu¬nyai rasa tanggung-jawab di hadlirat Allah atas segala perbuatannya; lagi pula harus sabar dan tawakkal bertabah hati menghadapi segala kesukar¬an atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya dengan penuh pengharapan akan perlindungan dan perto¬longan Allah Yang Maha Kuasa.
6. Untuk melaksanakan terwujudnya masyarakat yang demikian itu, maka dengan berkat dan rahmat Allah dan didirong oleh firman Allah dalam al-Qur’an :

“Adakanlah dari kamu sekalian golongan yang me¬ngajak kepada keIslaman, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah dari pada keburukan. Mereka itulah-golongan yang beruntung berbahagia”. (al-Qur’an surat Ali ‘Imran ayat 104)

Pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18 Nopember 1912 Miladiyah oleh Almarhum K.H.A. Dahlan didirikanlah suatu Persyarikatan sebagai “GERAKAN ISLAM’ dengan nama “MUHAMMADIYAH” yang disusun dengan majlis-majlis (Bagian-bahgian)¬nya, mengikuti peredaran zaman serta berdasarkan “syura” yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan atau Muktamar.

7. Kesemuanya itu perlu untuk menunaikan kewa,jiban mengamalkan perintah-perintah Allah dan mengikuti Sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhamnad saw, guna menda¬patkan karunia dan ridla-Nya, di dunia dan akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sen¬tosa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat Allah yang melimpah-limpah, sehingga merupakan :

“Suatu negara yang indah, bersih, suci dan makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun”.

Maka degan Muhammadiyah ini mudah-mudahan umnat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun Na’imi’ dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim.

D. TAFSIR
Sebelum memasuki keterangan secara terperinci, terlebih dahulu perlu diketahui bahwa apabila Muqad¬dimah tersebut di atas disimpulkan, maka akan dida¬patkan tujuh pokok pikiran, yaitu :

Pertama Hidup manusia harus mentauhidkan Allah; ber-Tuhan, beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah
Kedua Hidup manusia adalah bermasyarakat
Ketiga Hanya hukum Allah satu-satunya hukum Yang dapat dijadikan sendi pembentuk pribadi utama, dan mengatur tertib hidup bersama menuju kehidupan berba¬hagia-sejahtera Yang hakiki dunia dan akhirat
Keempat Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benar¬nya adalah wajib sebagai ibadah kepa¬da Allah dan berbuat ihsan kepada sesama manusia
Kelima Perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benar¬nya hanya akan berhasil bila meng¬ikuti jejak perjuangan Nabi Muhammad saw
Keenam Perjuangan mewujudkan maksud dan tujuan di atas hanya dapat dicapai apabila dilaksanakan dengan cara berorganisasi
Ketujuh seluruh perjuangan memadu ke satu titik tujuan Muhammadiyah, yakni “Terwujudnya masyarakat Utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subha¬nahu wata’ala

Keterangan pokdc pikiran pertama :

“Hidup manusia harus mentauhidkan Allah;
ber-¬Tuhan, beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah”.

Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang diberi kedudukan tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya, dan ia dititahkan dengan disertai satu tujuan tertentu. Oleh karena itu sudah seharusnyalah kalau manusia menyesuaikan hidup dan kehidupannya sejalan dengan maksud dan tujuan Allah menciptakan¬nya dengan cara mendasarkan seluruh hidupnya di atas dasar Tauhid, dalam arti hidup ber-Tuhan, beribadah serta tunduk dan taat hanya kepada Allah semata.
Manusia harus percaya dan yakin dengan sesungguh-sungguhnya, bahwa tidak ada sesuatu apapun yang wajib disembah, tak ada sesuatu apapun yang pantas ditakuti, tidak ada sesuatu apapun yang pantas di¬cintai, dan tidak ada sesuatu apaun yang wajib dita¬ati serta diagung-agungkan kecuali hanya kepada Allah semata-mata. Kalaupun di dalam hidupnya sese¬orang mesti mencurahkan rasa cinta ataupun kesadaran mentaati sesuatu, maka keseluruhannya dilaksanakan dalam kerangka dasar mencintai dan mentaati kepada Allah juga.

Dalam surat Muhammad ayat 19 Allah berfirman : “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada ada Tuhan kecuali Allah”. Ayat ini selain berisi penegasan tentang keberadaan Allah Yang Esa, juga memberikan rangsangan kepada akal fikiran manusia agar dipergu¬nakan sebaik-baiknya untuk menalar. Kalimat “keta¬huilah” mengandung makna bahwa manusia diperintahkan Allah untuklmenggunakan fikiran dan kemampuan lain¬nya guna merenungkan dan memikirkan berbagai keja¬than (mahluk) yang tergelar di alam semesta ini. Manusia diperintahkan untuk membaca dan mengetahui berbagai rahasia alam beserta segala isinya. Demiki¬an juga ia diperintahkan untuk merenungkan terhadap dirinya sendiri secermat-cermatnya. Renungan manusia yang didukung oleh akal fikiran yang kritis disertai dengan pengamatan intuisi yang halus dan tajam pasti akan membuahkan hasi semakin bertambah kuat keyakin¬annya bahwa sesungguhnya seluruh jagat raya beserta “gala isinya ini adalah mahluk Allah, diciptakan dengan perencanaan dan bertujuan.

Manusia yang telah mencapai tintkat kryakinan atau iman yang didapatkan lewat perpaduan antara aiaran wahyu denga penemuan akalnya (ra’yu) akan melahirkan kehidupan yang damai, tenang dan pasrah $ePenuhnya ke haribaan Allah swt. Dan hidup serupa inilah Yang dapat dinyatakan sebagai hidup yang telah selaras dengan kehendak Ilahi, seperti diterangkan dalam surat adz-Dzariyat ayat 56 : “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar supaya mereka beribadah kepadaKu”.

Pengabdian diri semata-mata hanya kepada Allah, yang pangkalnya digerakkan dan disinari oleh iman yang kokoh, akan melahirkan amal ibadah yang ikhlas, dan bersih, serta dilaksanakan penuh ketaat¬an semata-mata hanya mengharapkan ridlaNya. Surat al-Bayyinah ayat 4-5 menerangkan bahwa .”tidaklah mereka diperintahkan (sesuatu apapun) kecuali agar supaya mereka menghambakan diri kepada Allah, dengan menRikhlaskan agama semata-mata untuk Allah juga.

Pengertian Ibadah.

Di atas telah ditegaskan bahwa seseorang yang hidup dan kehidupannya telah terhunjam cahaya iman yang kokoh pasti akan terlihat secara jelas dalam seluruh sikap hidupnya, sikap yang penuh pasrah dan tawakkal kepada Allah. la terlaihat secara nyata sikap hidup seluruhnya diarahkan untuk beribadah kepada-Nya. Sebaliknya tidak diketemukan pada dirinya satu saatpun dalam perbuatannya yang tidak bernilai ibadah.

Kalau demikian halnya, bagaimana pengertian ibadah yang dapat diterapkan dalam setiap langkah dan tindakan manusia sepanjang hari? Dalam hal ini Majlis Tarjih telah memberikan batasan pengertian ibadah sebagai berikut : “Ibadah ialah taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah, dengan jalan mentaati segala sesuatu yang diizinkan kepadanya”.

Dari batasan seperti di atas, akhirnya penger¬tian ibadah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a. Ibadah khusus atau ibadah mahdlah, yakni ibadah yang telah ditetapkan secara pasti oleh Allah, baik perinciannya, tingkah dan tata caranya, misalnya ibadah shalat, ibadah shiyam, ibadah hajji, bersesuci.
b. Ibadah ‘Aam atau ibadah umum, yakni segala pekerjaan yang telah diizinkan Allah untuk dilakukannya.

Adapun maksud dan tujuan ibadah Umum ini ialah untuk mengemban amanat Allah berupa kesediaan melak¬sanakan misi khalifah di atas bumi yang tugas utama¬nya ialah :
a. Membangun kemakmuran dan kesejahteraan hi¬dup umat manusia.
b. Menciptakan perdamaian dan ketertiban ma¬syarakat dunia.

Dua tugas utama di atas adalah merupakan ke¬simpulan yang dapat diangkat dari ajaran al-Qur’an, khususnya dari surat al-Ahzab ayat 72 dan al-Baqarah ayat 30. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan satu amanat kepercayaan kepada para penghuni langit, juga kepada bumi serta kepada gunung-gunung, maka mereka enggan dan merasa takut memikul amanat tersebut. Dan akhirnya manusialah yang menerimanya. Sungguh manu¬sia itu sangat dhalim lagi bodoh”. (al-Ahzab : 72) “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para mala¬ikat (ketika telah siap menciptakan manusia) : Se¬sungguhnya Aku akan membuat khalifah di atas bumi. Para malaikatpun bersembah : Benarkah Tuhan akan menciptakan khalifah di atas bumi ? – orang yang akan berbuat kerusakan serta menumpahkan darah di dalamnya?”. (al-Baqarah : 30) Pada ayat yang ter¬akhir ini malaikat memperkirakan dua perbuatan manu¬sfa yang paling menonjol, yaitu meruaah bumi dan menumpahkan darah. Jelas dua bentuk perbuatan seper¬ti di atas bukannya yang akan dilakukan oleh seorang khalifah Allah, tetapi sebaliknya justru kebalikan dari dua hal itulah yang menjadi tugas utamanya. Artinya tugas khalifah Allah adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat merusakkan kelestarian bumi, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjauhkan hal-hal yang dapat mendatangkan bencana pertumpahan darah antar sesama umat manusia.

Tegasnya hidup beribadah yang sepenuhnya ialah hidup bertaqarrub kepada Allah digunakan untuk menu¬naikan amanat-Nya sebagai khalifah di bumi dengan mematuhi segala ketentuan yang menjadi peraturan-Nya, yang secara tegas telah diuraikan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih.

Menurut faham Muharmradiyah, ibadah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim tidaklah semata-mata hanya yang bersifat hubungan langsung antara manusia dengan Allah seperti tergambar dalam ibadah shalat atau shiyam, melainkan juga berbuat dan membangun kesejahteraan serta perdamaian di antara sesama umat manusia dan masyarakat. Bagi Muhammadiyah, amal ibadah yang sifatnya umum adalah merupakan kelengkap¬an dan kesempurnaan amal ibadah yang langsung kepada Allah. Seseorang yang telah menyatakan dirinya seba¬gai seorang Islam belum dianggap lengkap dan sempur¬na agamanya kalau hanya sekedar menjalankan pokok-¬pokok yang tersimpul dalam rukum Islam yang lima. la masih dituntut kesempurnaannya lewat penunaian misi yang dipangkunya selaku khalifah Allah yang keseluruhannya demi membangun dunia baru yang damai dan sejahtera di bawah naungan ridha dan ampunan Allah.

Keterangaa pdcok pikiran kedua :

“Hidup manusia adalah bermasyarakat”.

Hidup bermasyarkat bagi manusia adalah sunna¬tullah seperti ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 “Sesungguhnya Kami menjadikan engkau semua dalam bentuk berbangsa-bangsa dan ber¬suku-suku agar saling kenal-mengenal.”
Secara pengalaman telah diakui oleh para cer¬dik-cendekiawan, bahwa kehidupan manusia selalu bergerombol. Hal seperti itu karena manusia didorong berbagai dorongan, seperti dorongan spirituil, do¬rongan intelektuil, dorongan biologis, ataupun do¬rongan harga diri. Karena kenyataan serupa itu Aris¬toteles memandang manusia sebagai makhluk bermasya¬rakat (Zoon politikon ).
Islam mengakui manusia sebagai makhluk yang mandiri dan berpribadi. Sekalipun demikian ia tidak akan dapat melepaskan diri dari hubungan sesama manusia, bahkan dengan mempelajari sifat dan susunan hidup manusia maka bagaimanapun juga tinggi nilai pribadinya akan totapi ia tidak akan mFSnpunyai nilai bila sifat kehidupannya hanya semata-mata berguna bagi dirinya sendiri. Nilai seseorang akan ditentu¬kan oleh ukuran seberapa jauh ia memberikan pengor¬hanan dan darma baktinya dalam upaya membina keles¬tarian hidup bersama. Jadi hanya dengan hidup ber¬masyarakat terletak arti dan nilai kehidupan manu¬sia.
Hubungan pengertian antara pokok pikiran per¬tama dengan pokok pikiran kedua adalah erat sekali karena adanya manusia berpribadi yang dilandasi dengan jiwa tauhid merupakan unsur pokok dalam mem¬bentuk dan mewujudkan suatu masyarakat yang baik, teratur lagi tertib.

Keterangan pokok pikiran ketiga.

“Hanya hukum Allah satu-satunya hukum yang dapat dijadikan sendi pembentukan pribadi utama dan pengatur tertib hidup bersama menuju kehidupan bahagia sejahtera yang hakiki dunia dan akhirat.”

Pendirian pokok pikiran ketiga ini lahir dan kemudian menjadi keyaninan yang kokoh dan kuat adalah sebagai hasil penelaahan dan pecnahaman terhadap ajaran Islam dalam arti dan sifat yang sebenar-be¬narnya. Oleh karena itu pokokpikiran ini merupakan “bekal keyakinan dan pendangan hidup”.

Agama Islam merupakan ajaran-ajaran yang sa¬ngat sempurna serta mutlak nilai kebenarannya. la merupakan petunjuk jiwa dan sebagai rahmat serta taufiq Allah kepada manusiakuntuk meraih kebahagiaan hakiki dunia dan akhirat. Surat Ali Imran ayat 19 dan 85 menegaskan “Sesungguhnya agama yang ada di sisi Allah hanyalah agama Islam, dan siapapun yang mencari agama selain agama Islain, tidak akan diteri¬ma dan ia diakhirat termasuk golongan orang-orang yang rugi.”

Surat al-Maidah ayat 3 menerangkan tentang kesempurnaan Islam: “Pada hari ini telah Aku sern¬purnakan agama untukmu dan telah Aku cukupkan pula nikmatKu padamu, dan Aku merelakan Islam sebagai agamamu.”

Definisi agama (Addien) menurut keputusan Majlis Tarjih :
a. Agama Islam ialah sesuatu yang disyari’at¬kan oleh Allah dengan perantaraan pada Nabi-Nya berupa perintah, larangan serta tuntunan untuk meshlahatan hamba di dunia dan akhirat.
b. Agama Islam Nabi Muhammad ialah sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah dalam al¬Qur’an dan yang termaktub dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah, larangan serta tuntunan untuk kemashlahatan hamba di dunia dan akhirat.

Dengan pengertian tersebut, Muhammadiyah mem¬punyai faham bahwa Islam bukan semata-mata mengajar¬kan bagaimana seharusnya seseorang menghubungkan dirinya kepada Allah, seperti shalat, puasa, hajji, dan sebagainya. Akan tetapi Islam membawa ajaran yang sempurna menuntun hambanya mendapatkan kehidup¬an bahagia sejahtera dunia dan akhirat. Islam menca¬kup seluruh segi kehidupan manusia, baik segi kehi¬dupan perorangan ataupun kehidupan bermasyarakat, seprti masalah aqidah, ibadah akhlak, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan, sosial, ekonomi, poli¬tik dan militer. Pandangan Muhammadiyah terhadap ajaran Islam seperti tersebut dikukuhkan oleh ahli¬ahli ilmu pengetahuan yang menaruh perhatian terha¬dap agama Islam sebagai obyek pembahasannya seperti kata V.M. Dean dalam bukunya “The nature of the non Western World” : “Islam is completa integration of religion,political system, way of live and interpre¬tation of history”. Artinya : Islam adalah suatu perpaduan yang sernpurna antara agama, sist~3n poli¬tik, pandangan hidup serta penafsiran sejarah.

Keterangan pokok pikiran keempat :

“Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam lyang sebenar-benarnya adalah wajib, sebagai ibadah kepada Allah dan berbuat ihsan dan ishlah kepada sesama manusia.”

Berjuang menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dengan mencari keridhaan Allah termasuk sabilillah yang artinya : “Jalan yang dapat menyam-paikan kepada yang diridhai Allah atas semua amal yang diizinkanya”.
Pokok pikiran keempat, sebagai konsekuensi atas keyakinan dan pandangan hidup sebagaimana ter¬simpul dalam pokok pikiran ketiga. Adanya pandangan dan keyakinan hidup bahwa hanya ajaran Islam satu-¬satunya yang dapat dijadikan sendi mengatur keter¬tiban hidup manusia menuju kebahagiaan dan kesejah¬teraan dunia dan akhirat, akhirnya menumbuhkan kesadaran wajib berjuang, menegakkan ajaran Islam.

Oleh karena itu antara pokok pikiran ketiga dan keempat terjadi hubungan yang erat sekali, sebab satu cita-cita dan keyakinan baru dipandang positif apabila keyakinan tersebut diperjuangkan. Bahkan manusia dinyatakan hidup yang sebenarnya bilamana ia mempunyai suatu keyakinan hidup dan diperjuangkan dengan sepenuh pengerbanan hidupnya.

Bagi setiap muslim harus mempunyai kesadaran wajib berjuang menegakkan ajaran Islam dengan sepe¬nuh-penuhnya di manapun sebagai tanda dan bukti akan kebenaran iman dan keislamannya.

Allah menggambarkan sifat seorang mukmin yang sebenar-benarnya sebagai berikut : “Orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu serta berjuang dengan harta dan dirinya di jalan Allah (sabilillah). Orang-orang itulah orang¬orang yang benar”. (al-Hujurat : 15)

Pendirian, kesadaran dan sikap seperti di atas merupakan kerangka dan sifat perjuangan Muhammadiyah secara keseluruhan. Dengan demikian setiap kegiatan dan amalan Muhammadiyah diarahkan dan disesuaikan denan sikap serta pedirian yang ada. Dan sebaliknya tidak dapat dibenarkan sama sekali adanya suatu kegiatan yang berlawanan dan yang menyimpang dari padanya.

Keterangan pokok pikiran kelima :

“Perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya hanya akan berhasil bila mengikuti jejak perjuangan para Nabi, terutama Perjuagan Nabi Muhammad saw.”.

Apabila pokok pikiran keempat membicarakan tentang konsekuensi terhadap pandangan hidup yang telah diyakini kebenarannya, maka pokok pikiran kelima memperssoalkan tentang bagaimana cara dan akhlak berjuang menegakkan keyakinan hidup tersebut.

Bagi tiap pejuang muslim tidak ada cara dan contoh yang patut dijadikan teladan kecuali harus mengikuti car-cara perjuangan para nabi tertama Nabi Muhammad saw. Sebab pada diri Rasulullah tergambar rentangan contoh teladan paling bagus dan mulia, seperti yang telah ditegaskan Allah dalam surat al Ahzab ayat 21 : “Sesungguhnya pada diri kasulul¬lah ada suatu contoh yang baik bagi kamu sekalian, ialah bagi orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan keselamatan hari akhir serta ingat, sebanyak-banyak¬ kepada Allah”.

Surat Ali Imran ayat 31 memberikan petunjuk kepada orang yang berusaha mencintai Allah harus menempuh jalan Rasulullah : “Katakanlah, apabila engkau benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya engkau akan dicintai Allah, serta diam¬puni dosa-dosamu. ban Allah flaha Nengampun lagi Maha Penyayang.

Kehidupan para nabi, terutama nabi Muhammad saw. adalah merupakan kehidupan yang seluruhnya di¬peruntukkan dalam perjuangan menegakkan cita-cita agung yakni : Kejayaan agama Allah di seluruh permu¬kaan bumi. Kehidupan Rasulullah yang sangat menga-¬gumkan adalah merupakan gambaran yang hidup, Yang konkrit dan rril serta merupakan wujud Yang nyata dari ide yang terkandung dalam Al-Qur’an. t1anuaia muslim tidak dapat membuat keadilan yang lebih besar terhadap Al-Qur’an kecuali dengan cara mengikuti Rasulullah. Sebab sesungguhnya Rasulullah adalah orang yang ditunjuk Allah menjadi alat penyampai wahyu.

Tegasnya seseorang muslim mengikuti jejak beliau karena didasari suatu keyakinan bahwa tidak ada juru tafsir yang lebih baik dari ajaran A1-Qur’an daripada melaui orang di mana firman Allah diwahyu¬kan untuk umat Islam. Oleh sebab itu mempelajari sejarah perjuangan Rasulullah hingga dapat mengeta¬hui rahasia-rahasia kemenangannya yang gilang-gemi¬lang adalah merupakan syarat mutlak bagi setiap pejuang Muslim yang bercita-cita menegakkan agama Islam.

Sifat-sifat perjuangan Rasulullah yang wajib diikuti ialah selain merupakan ibadah kepada Allah, adalah dilakukan dengan segala kesungguhan atau jihad, ikhlas, penuh rasa tanggung jawab, sabar dantawakkal.

Dan karana itu pula persyarikatan yang didiri¬kan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan dinamakan Muhamma¬diyah, dengan maksud untuk bertafaul atau berharapan baik. semoga persyarikatan beserta para pendukung cita-citanya dapat mencontoh pcrjuangan dan diri pribadi Nabi Muhammad saw.

Keterangan pokok pikiran keenam :

“Perjuangan mewujudkan maksud dan tujuan di atas hanya akan dapat tercapai apabila dilak¬sanakan dengan berorganisas”

Pokok pikiran keenam membicarakan tentang alat perjuangan sebagai rangkaian logis pokok pikiran-¬pokok pikiran yang sebelumnya, ialah: Munculnya keyakinan dan pandangan hidup menumbuhkan konsekuen¬si untuk memperjuangkannya dengan suatu metode dan akhlak tertentu serta dilaksanakan dengan mengguna¬kan alat perjuangan demi efisiensi pelaksanaannya.

Perjuagan menegakkan ajaran Islam hanya akan dapat berhasil secara efektif & efisien apabila diperjuangkan dengan mempergunakan suatu alat beru-pa organisasi. Dan sudah semestinya organisasi yang dijadikan alat untuk meraih satu tujuan yang sangat tinggi dan agung, memerlukan berbagai syarat yang berat juga, yang harus sepadan dan sebanding dengan nilai yang hendak dicapai. Ajaran Islam menekankan kepada umat¬nya agar dalam berusaha menegakkan ajaran Islam hendaknya dilakukan dengan cara berorganisasi seba¬gaimana yang dinyatakan dalam surat ash-Shaf ayat 4: “Sesungguhnya Allah senang kepada orang-orang yang yang berjuang di atas jalan-Nya secara tersusun rapi iba¬rat suatu bangunan yang kokoh dan kuat”.
Muhammadiyah sadar bahwa mengingat ayat terse¬but maka berorganisasi untuk melaksakanan kewajiban menegakkan ajaran Islam, hukumnya adalah wajib. Hal ini dikukuhkan oleh qaidah umum ushul fikih yang menyatakan bahwa :”Apabila suatu kewajiban tidak selesai kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka adanya sesuatu yang lain tersebut hukumnya wajib juga”. Untuk mengatur agar jalan kehidupan organisasi Muhammadiyah dapat:
a. Tepat, yaitu sesuai dan selalu pada prin¬sip-prinsipnya.
b. Benar, yaitu sesuai dengan teori perjuangan serta lurus menuju maksud dan tujuan.
c. Tertib, yaitu serasi dan tidak bersimpang¬ siur.
d. Lancar, yaitu maju terus sampai kepada tujuan.

maka perlu diadakan berbagai peraturan yang berupa :
a. Anggaran Dasar Muhacnmadiyah.
b. Anggaran Rumah Tangga Muhamnadiyah.
c. Qaidah-qaidah.
d. Dan peraturan-peraturan yang diperlukan.

Keterangan pokdc pikiran ketujuh :

“Seluruh perjuangan mengarah ke satu tujuan Muhammadiyah, yakni terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

Pokok pikiran ketujuh membicarakan tentang tujuan perjuangan. Di mana Muhammadiyah selaku orga¬nisasi menetapkan bahwa segala amal perjuangan yang telah dan yang akan dirintisnya tidak boleh lepas dari tujuan yang dicita-citakan sejak semula, yakni terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun wujud dari masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT dapat diberi ciri sebagai berikut : masyarakat yang sejahtera, aman, damai, makmur dan bahagia yang diwujudkan atas dasar keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong – ¬royong, saling tolong menolong dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu.

Masyarakat utama, adil dan makmur yang diri¬dlai Allah SWT selain merupakan kebahagiaan di dunia bagi seluruh umat manusia, ia juga akan menjadi jenjang bagi umat Islam untuk memasuki pintu gerbang syurga “JANNATUN NA’IM” untuk menerima keridhaan Allah yang kekal abadi.




PUISI PERJUANGAN

INDONESIAKU

                                         OLEH BASRI B MATTAYANG

INDONESIAKU….

RATUSAN TAHUN ENGKAU TERJAJAH

RATUSAN  TAHUN ENGKAU TERGELETAK  LEMAH TANPA DAYA

RATUSAN TAHUN ENGKAU MENJADI BUDAK DI TANAH LAHIRMU SENDIRI

RATUSAN TAHUN ENGKAU HIDUP MELARAT PENUH HARAP

INDONESIAKU…….

SILIH BERGANTI PARA PENJAJAH MENDATANGIMU

MERENGGUT SELURUH KEKAYAANMU

KEKAYAAN ALAMMU DIJARAH OLEH MEREKA…

ANAK NEGERIMU DITINDAS LAKSANA BINATANG-BINATANG JALAN

INDONESIAKU….

ENGKAU LAKSANA BUAH-BUAH SEGAR DIHADAPAN PARA MUSAFIR-MUSAFIR LAFAR

ENGKAU LAKSANA PEMUAS DAHAGA-DAHAGA MEREKA

ENGKAU LAKSANA SURGA BAGI MEREKA…

NAMUN ENGKAU LAKSANA NERAKA BAGI ANAK-ANAK NEGERIMU

HINGGA TIBA WAKTUNYA…

PARA PAHLAWANKU BANGKIT DAN BANGKIT BERJUANG UNTUKMU


BERJUANG UNTUK TANAH-TANAH LAHIR MEREKA

MEMBEBASKANMU DARI CENGKRAMAN PARA PENINDAS-PENINDAS NEGERIMU

TAK PEDULI DENGAN DESINGAN-DESINGAN PELURUH

TAK PEDULI DENGAN BOM-BOM PERENGGUT NYAWA

MEREKA TERUS BERJUANG MERADANG MAUT

MEREKA TERUS BERJUANG DAN BERJUANG DENGAN HANYA SATU KATA…MEEERDEKAA

JAYALAH BANGSAKU, JAYALAH  INDONESAKU




























KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

PENGERTIAN

Khittah artinya garis besar perjuangan. khittah itu mengandung konsepsi (pemikiran) perjuangan yang merupakan tuntunan, pedoman, dan arah perjuangan. hal tersebut mempunyai arti penting karena menjadi landasan berpikir dan amal usaha bagi semua pimpinan dan anggota muhammadiyah. garis-garis besar perjuangan muhammadiyah tersebut tidak boleh bertentangan dengan asas dan tujuan serta program yang telah disusun.

MAKSUD DAN TUJUAN

Sebagai tuntunan, sebagai pedoman dan arahan untuk berjuang bagi anggota maupun pimpinanMuhammadiyah.Sedangkan Fungsi khittah tersebutSebagai landasan berpikir bagi semua pimpinan dan anggota Muhammadiyah dan yang menjadi landasan berpikir bagi setiap amal usaha muhammadiyah.

PERKEMBANGAN KHITTAH MUHAMMADIYAH

Isi khittah harus sesuai dengan tujuan Muhammadiyah, khittah itu disusun sesuai dengan perkembangan zaman.Berikut akan diuraikan perkembangan khittah muhammadiyah :

1. Khittah Muhammadiyah 1938-1940

Khittah perjuangan Muhammadiyah yang pertama adalah berhasil merumuskan suatu langkah perjuangan yang kemudian dikenal dengan nama “Langkah dua belas”

Langkah 12 ini  adalah suatu khittah yang disusun  pada masa KH. Mas Mansyur menjadi ketua PP Muhammadiyah yang ke-4 pada tahun  1936-1942.

Langkah 12 berisikan buah pikiran dan perenungan KH Mas Mansyur setelah menelaah kembali situasi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dan perjuangannya disaat beliau memimpin Muhammadiyah. Beliau melihat keadaan Muhammadiyah makin melemah terutama dalam bidang aqidah. Hal ini diantaranya diakibatkan oleh kondisi masyarakat Indonesia yang menderita lahir dan batin, moral dan iman agamanya ditekan sedemikian rupa oleh penjajah. Untuk menjaga ummat Muhammadiyah dari pengaruh pendangkalan aqidah tadi serta untuk menggerakkan kembali muhammadiyah agar lebih dinamis dan berbobot, maka disusunlah “langkah dua belas”

Awal mula langkah dua belas ini merupakan materi pengajian malam selasa yang rutin dibawakan oleh KH Mas Mansyur dalam acara kursus kepemimpinan bersama majelis-majelis di Yogyakarta.

Adapun isinya sebagai berikut:

a. Memperdalam Masuknya Iman.

Hendaklah iman itu ditablighkan, disiarkan dengan selebar-lebarnya, yakni diberi riwayatnya dan diberi dalil buktinya, dipengaruhkan dan digembirakan, sampai iman itu mendarah daging, masuk di tulang sumsum dan mendalam di hati sanubari kita, sekutu-sekutu Muham-madiyah seumumnya.

b. Memperluas Faham Agama

Hendaklah faham agama yagn sesungguhnya itu dibentangkan dengan arti yang seluas-luasnya, boleh diujikan dan diperbandingkan, sehingga kita sekutu-sekutu Muhammadiyah mengerti perluasan Agama Islam, itulah yang paling benar, ringan dan berguna, maka, mendahulukanlah pekerjaan keagamaan itu.

c. Memperbuahkan Budi Pekerti.

Hendaklah diterangkan dengan jelas tentang akhlaq yang terpuji dan akhlaq yang tercela serta diperbahaskannya tentang memakainya akhlaq yang mahmudah dan menjauhkannya akhlaq yang madzmumah itu, sehingga menjadi amalan kita, ya seorang sekutu Muhammadiyah, kita berbudi pekerti yang baik lagi berjasa.

d. Menuntun Amalan Intiqad (self correctie).

Hendaklah senantiasa melakukan perbaikan diri kita sendiri (self correctie), segala usaha dan pekerjaan kita, kecuali diperbesarkan, supaya diperbaikilah juga. Buah penyelidikan perbaikan itu dimusyawarahkan di tempat yang tentu, dengan dasar mendatangkan maslahat dan menjauhkan madlarat, sedang yang kedua ini didahulukan dari yang pertama.

e. Menguatkan Persatuan.

Hendaklah menjadikan tujuan kita juga, akan menguatkan persatuan organisasi dan mengokohkan pergaulan persaudaraan kita serta mempersamakan hak-hak dan memerdekakan lahirnya pikiran-pikiran kita.

f. Menegakkan Keadilan.

Hendaklah keadilan itu dijalankan semestinya, walaupun akan mengenai badan sendiri, dan ketetapan yang sudah seadil-adilnya itu dibela dan dipertahankan di mana juga.

g. Melakukan Kebijaksanaan.

Dalam gerak kita tidaklah melupakan hikmah, hikmah hendaklah disendikan kepada Kitabullah dan Sunnaturrasulillah. Kebijaksanaan yang menyalahi ke-dua pegangan kita itu, mestilah kita buang, karena itu bukan kebijaksanaan yang sesungguhnya. Dalam pada itu, dengan tidak mengurangi segala gerakan kemuhammadiyahan, maka pada tahun 1838-1940 H. Muhammadiyah mengemukakan pekerjaan akan:

h. Menguatkan Majlis Tanwir.

Sebab majlis ini nyata-nyata berpengaruh besar dalam kalangan kita Muhammadiyah dan sudah menjadi tangan kanan yang bertenaga disisi Hoofdbestuur (PP) Muhammadiyah, maka sewajibnyalah kita perteguhkan dengan diatur yang sebaik-baiknya.

i. Mengadakan Konperensi Bagian.

Untuk mengadakan garis yang tentu dalam langkah-langkah bagian kita, maka hendaklah kita berikhtiar mengadakan Konperensi bagian, umpama: Konperensi Bagian: Penyiaran Agama seluruh Indonesia dan lain-lain sebagainya.

j. Mempermusyawaratkan Putusan.

Agar dapat keringanan dan dipermudahkan pekerjaan, maka hendaklah setiap ada keputusan yang mengenai kepala Majlis (Bagian), dimusyawarahkanlah dengan yang bersangkutan itu lebih dahulu, sehingga dapatlah mentanfidzkan dengan cara menghasilkannya dengan segera.

 k. Mengawaskan Gerakan Dalam

Pemandangan kita hendaklah kita tajamkan akan mengawasi gerak kita yang ada di dalam Muhammadiyah, yang sudah lalu, yang masih langsung dan yang bertambah (yang akan datang/berkembang).

l. Mempersambungkan Gerakan Luar.

Kita berdaya-upaya akan memperhubungkan diri kepada iuran (ekstern), lain-lain persyarikatan dan pergerakan di Indonesia, dengan dasar Silaturahim, tolong-menolong dalam segala kebaikan, yang tidak mengubah asasnya masing-masing, terutama perhubungan kepada persyarikatan dan pemimpin Islam.

2. Khittah Palembang 1956-1959



  • Menjiwai pribadi anggota dan pimpinan Muhammadiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyu’ dan tawadlu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muham-madiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab.
  • Melaksanakan uswatun hasanah.


  • Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi. 
  • Memperbanyak dan mempertinggi mutu anak. 
  • Mempertinggi mutu anggota dan membentuk kader.
  • Memperoleh ukhuwah sesama muslim dengan mengadakan badan ishlah untuk menganti­sipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan.
  • Menuntun penghidupan anggota.


3. Khittah Ponorogo 1969

Kelahiran Parmusi merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam rumusan Khittah tahun 1969 ini disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma'ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran: politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagaigerakan Islam amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Sayangnya, partai parmusi ini gagal sehingga khittah ponorogo kemudian "dinasakh" meminjam istilah Haedar nashir lewat khittah ujung pandang.

4. Khittah Ujung Pandang 1971


  • Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat.Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.
  • Untuk lebih memantapkan muhammadiyah sebagai gerakan da’wah islam setelah pemilu tahun 1971, muhammadiyah melakukan amar ma’ruf nahi munkar secara konstruktif dan positif terhadap partai muslimin Indonesia.
  • Untuk lebih meningkatkan partisipasi muhammadiyah dalam pelaksanaan pembangunan nasional.


5. Khittah Surabaya 1978 (penyempurnaan dari khittah ponorogo 1969)


  • Muhammadiyah adalah Gerakan Da’wah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu partai politik atau organisasi apapun.
  • Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muham­madiyah.


6. Khittah Denpasar 2002

Dalam Posisi yang demikian maka sebagaimana khittah Denpasar, muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan social civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara.




Senin, 11 Agustus 2014

GERAKAN TAJDID MUHAMMACIYAH

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam, amar makruf nahi umnkar, yang berwatak tajdid (pembaharuan). Karena menjadi wataknya, maka Muhammadiyah harus mencerminkan tajdid  itu dalam seluruh aspek kegiatannya. Istilah tajdid diambail dari sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa Allah akan mengutus pada awal setiap abad seorang yang melakukan tajdid dalam urusan agama umat ini. Dalam perkembangan sejarah umat, inspirasi tajdid ini bukan hanya ditangkap oleh Muhammadiyah saja, tetapi juga oleh gerakan pembaharuan lainnya, seperti Persatuan Islam. Dalam Qanun Asasi, Persatuan Islam menyebutkan gerakan itu merupakan mata rantai dari tajdid sebelumnya. Selanjutya  Pertsatuan Islam mengikuti tesis Rasyid Ridla yang menyebutkan bahwa dalam sejarah Islam telah lahir para mujaddid (pembaharu), misalnya ‘Umar bin Abd al-Aziz, khalifah ke-8 dari Bani Umayyah, yang telah mendorong pengumpulan hadis-hadis Nabi dan dikenal sebagai penguasa yang adil. Setelah itu, muncul Muhammad bin Idris al-Syafi'i, yang berjasa dalam menumuskan Ushul al-Fiqh dan meletakkan dasar bagi otoritas hadis sebagai sumber hukum Islam. Mujaddid berikutnya adalah Ahmad bin Hanbal, yang dengan kegigihannya menolak penganut bid'ah dalam teologi, seperti Mu'tazilah dan Syi'ah. Sesudah itu, tampil al-Ghazali, yang mengkritik kelemahan epistemologis dari berbagai aliran pemikiran yang berkembang pada waktu itu dan mengajak kembali kepada pemahaman dan pengalaman agama yang komperhensif. Selanjutnya, muncul Ibnu Taymiyah, yang mengkritik segala bentuk penyimpangan agama. Mujaddid berikutnya adalah Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh. Kedua tokoh ini berjasa dalam membangkitkan umat Islam dari keterbelakangan akibat tidurnya yang panjang.

Karena Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan ciri-ciri yang lebih rinci, maka timbul beberapa persoalan yang membuka peluang penafsiran. Salah satu penafsiran tentang hadis itu menyatakan bahwa kata-kata ra'si kulli mi'ati sanatin (awal setiap abad) yang dikatakan oleh Nabi SAW tidak harus difahami secara harfiyah. Banyak istilah-istilah Arab yang sekalipun menyebut angka tahun tetapi maknanya adalah setiap masa. Jadi, mujaddid itu bisa muncul kapan saja. Pendapat Rasyid Ridla tentang orang-orang yang layak disebut mujaddid menunjukkan bahwa waktu munculnya mujaddid tidak harus pada awal abad. Persoalan lain juga muncul dalam hal corak tajdid. Dengan perkembangan zaman, aliran pemikiran atau mazhab dalam sejarah Islam semakin hari semakin bertambah. Jika dalam sebuah hadis konon Nabi Muhammad memprediksi bahwa akan ada 73 aliran, maka jika dilihat sepanjang sejarah Islam jumlahnya jauh lebih banyak dari itu. Tampaknya, Rasyid Ridla berpendapat bahwa corak tajdid itu bisa bermacam-macam seperti yang tercermin dalam nama-nama yang oleh Rasyid Ridla pantas disebut mujaddid. Kenyataannya, pemikiran al-Ghazali jauh berbeda dengan pemikiran Ibnu Taymiyah; demikian juga antara Jamal al-Din al-Afghani dan muridnya, Muhammad ‘Abduh. Penafsiran selanjutnya menyatakan bahwa mujaddid itu bisa muncul di mana saja dan tidak selalu hanya seorang di saat yang sama. Bisa ada lebih dari satu orang mujaddid pada abad yang sama.

Mempertimbangkan penafsiran di atas, maka Muhammadiyah berhak disebut sebagai gerakan tajdid mulai berdiri sampai sekarang. Muhammadiyah telah melakukan tajdid dalam soal aqidah, ibadah dan muamalah dunyawiyah. Watak tajdid itu tercermin dalam berbagai macam pernyataan resmi organisasi dan dalam kiprahnya memajukan umat secara kolektif dan berkelanjutan. Jika tajdid masa lalu lebih bersifat individual dan berhenti dengan kematian tokohnya, sekalipun mungkin ide-idenya dilanjutkan oleh tokoh lain, tajdid Muhammadiyah telah berlangsung seabad, dilakukan secara kolektif dan bersifat komperhensif, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.

Dalam rangka memahami tajdid, perlu adanya perbandngan dengan gerakan-gerakan yang sejenis. Dalam khazanah masyarakat Isam ada gerakan islah (perbaikan), yang maknanya adalah perbaikan kehidupan umat. Sebutan islah, misalnya, dipakai oleh Ahmad Amin dalam bukunya Zu'ama' al-Islah fi al-‘Ashr al-Hadits. Dalam buku itu disebutkan bahwa tokoh-tokoh liberal seperti Midhat Pasya dan revivalis seperti Jamal al-Din dimasukkan dalam tokoh gerakan islah. Gerakan sejenis juga disebut  dengan gerakan salafiyah seperti yang  muncul pada awal abad ke-20, yang dipelopori oleh Muhammad ‘Abduh dan Rasyid Ridla.

Dalam khazanah intelektual Barat, beberapa sebutan bagi gerakan senejis juga muncl. Ada gerakan modernis, yang menggunakan pemikiran dan budaya Barat modern sebagai bahan acuan untuk memajukan umat Islam. Ada gerakan reformis, yang mengubah kondisi umat dengan memanfaatkan modal ajaran Islam  itu sendiri. Ada gerakan revivalis, yang menghidupkan kembali umat dari kematian yang panjang. Ada gerakan resurgence, yang membangunkan kembali umat dari tidurnya yang panjang. Ada juga gerakan reassertion, yang menegaskan kembali kehadiran Islam di tengah-tengah pergumulan dunia. Di samping itu ada istilah gerakan puritan, yang membersihkan segala bentuk takhayul, khurafat dan bid'ah dari kehidupan aqidah dan ibadah umat.

Di dalam gerakan-gerakan yang disebut ada elemen-elemen yang tumpang tindih. Prinsip kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah menjadi benang merah semua gerakan itu. Tetapi, ada perbedaan di dalam tekanan isu dan mungkin strategi gerakan yang dipilih. Nmun demikian, perlu disadari bahwa gerakan Muhammadiyah adalah sesuatu yang spesifik. Selalu ada ketidaksamaan antara Muhammadiyah dengan semua gerakan itu.

Dalam tulisan ini fokus diarahkan pada usaha purifikasi dan dinamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Sesungguhnya dalam ide dan praktek, Muhammadiyah tidak pernah berhenti memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dalam bidang aqidah dan ibadah, dan juga tidak pernah berhenti dlam usahanya mendinamisasi kehidupan umat dalam bidang dunyawiyah. Prinsip ini telah mewarnai perjalanan Muhammadiyah sejak berdiri sampai sekrang.

Secara harfiyah purifikasi berarti pemurnian. Pemurnian itu dikenakan pada bidang aqidah dan ibadah. Muhammadiyah sepanjang sejarahnya telah melaksanakan pemurnian itu. Kalau dilihat dalam realitasnya ada dua macam pemurnian. Yang pertama adalah pemurnian radikal dan yang kedua adalah pemurnian moderat. Dalam hal aqidah, pemurnian radikal menyatakan bahwa aqidah seorang Muslim harus bersih sama sekali dari unsur-unsur asing atau luar. Pandangan sperti ini sesungguhnya telah dimulai oleh Ahmad bin Hanbal. Ahmad menyatakan bahwa bahwa aqidahnya adalah aqidah salaf yang berpegang teguh pada nas (teks) al-Qur'a dan hadis, tanpa mengenal takwil. Pemahamah aqidah, kata Ahmad, terikat oleh teks dan tidak memerlukan pemahaman rasional. Sebagai contoh, ia juga menyatakan bahwa karena tidak pernah disebut dalam al-Qur'an dan hadis bahwa al-Qur'an itu makhluq, maka tidak benar bila ia disebut makhluq. Juga, karena al-Qur'a itu tidak pernah disebut ghairu makhluq, maka ia juga bukan ghairu makhluq. Al-Qur'an, kata Ahmad bin Hanbal, adalah kalamullah karena memang ia disebut demikian dalam al-Qur'an (al-Baqarah: 75; al-Taubah: 6; al-Fath: 15).

Trandisi literalis seperti itu juga tampak dalam pemikiran Hanabilah (pengukut-pengikut Ahmad bin Hanbal). Abu Muhammad al-Barbahari (w. 941) menyatakan, "yakinilah apa yang tertulis, dan jangan berdebat dan berargumentasi dalam hal agama." La mira'a wa la jidala fi al-Islam, katanya. Beberapa karya juga ditulis untuk mengecam ilmu kalam, karena ilmu tersebut adalah warisan pemikir-pemikir Yunani kuno yang justeru kalau diadopsi akan mengaburkan ajaran Islam. Ada dua kitab yang menggambarkan semangat anti-kalam, yakni Dzamm al-Kalam (menghujat kalam), karya al-Anshari al-Harawi (w. 1090) dan Tahrim al-Nadhar fi Kutub Ahl al-Kalam (mengharamkan melihat kitab ahlii kalam), karya Ibn Qudamah (w. 1223).

Kelompok puritan radikal itu selanjutnya mendapatkan pengikutnya sekarang ini, bahkan lebih radikal. Mereka mengecam, misalnya, pemasangan foto K. H. Ahmad Dahlan di sekolah-sekolah Muhammadiyah karena berbau syirik. Mereka juga mengharamkan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Padamu Negeri karena rawan syirik.; apalagi penghormatan bendera merah putih di berbagai macam upacara.

Sedangkan puritan moderat melakkan purifikasi terhadap hal-hal yang memang dilarang oleh agama karena berkaitan langsung dengan syirik, misalnya pemujaan terhadap kuburan dan orang yang ada di dalamnya. Meminta berkah dari orang yang sudah meninggal dan menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah adalah perbuatan syirik. Prilaku ini bertentangan dengan ayat-ayat yang mengatakan bahwa Allah itu dekat, Allah mendengarkan doa hambanya, Allah maha mendengar dan maha tahu. Allah mengecam orang-orang musyrik yang menjadikan patung orang yang sudah wafat itu sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Mitos-mitos yang berkembang menjadi mitologi, yang oleh Muhammad Arkoun dipadankan dengan khurafat, mengandung kepercayaan terhadp eksistensi kekuasaan di samping Tuhan. Karena itu, oleh puritan moderat, mitos-mitos itu harus dibersihkan karena mengganggu aqidah.

Menurut Muhammadiyah, purifikasi juga diberlakukan pada persoalan ibadah. Dalam banyak hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umat Islam tidak melakukan perbuatan bid'ah karena bid'ah itu adalah kesesatan dan kesesatan itu tempatnya di neraka. Persoalan bid'ah dalam ibadah telah menjadi perbincangan yang lama sekali dalam sejarah Islam. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam bid'ah, yakni dlalalah dan hasanah. Bid'ah dlalalah dikenakan pada persoalan ibadah (agama), sedangkan bid'ah hasanah dikenakan pada persoalan non-ibadah (dunyawiyah). Di samping itu ada kelompok lain yang menyatakan bahwa pada persoalan non-ibadah itu tidak masuk dalam kategori bid'ah. Dua kelompok tersebut hanya berbeda dalam istilah saja, sedang pendapat esensialnya adalah sama.


Berbeda dari kedua kelompok itu, kelompok ketiga berpendapat bahwa di dalam urusan ibadah pun terdapat dua macam bid'ah, yakni yang sesat dan yang baik. Mereka merujuk pada ucapan ‘Umar bin Khattab, yang menyatakan bahwa shalat teraweh berjamaah adalah ni'mat al-bid'ah (kenikmatan bid'ah). Berarti, ada bid'ah yang baik dalam ibadah. Biarlah ini menjadi argumentasi para fuqaha. Yang jelas Muhammadiyah telah sampai pada kesimpulan bahwa pelaksanaan ibadah itu harus sesuai dengan ketentuan dan contoh Nabi. Bila tidak, maka ibadah itu termasuk bid'ah.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dalam persoalan bid'ah dalam ibadah (bid'ah yang sesungguhnya) terdapat dua kelompok ekstrem. Pertama ialah mereka yang liberal, yang memberikan peluang untuk berinovasi dalam substansi ritual. Penambahan dalam hal ibadah diperbolehkan sepanjang dianggap baik dan bermanfaat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedua ialah mereka yang berpendapat bahwa setiap penambahan adalah bid'ah sekalipun dalam hal yang tidak berkaitan langsung dengan ibadahnya itu sendiri. Contohnya ialah penggunaan mimbar dan pengeras suara untuk khutbah; juga pengumuman yang biasanya disampaikan oleh pengurus takmir masjid menjelang khutbah Jumat. Kelompok kedua ini memiliki daftar bid'ah yang hampir tidak terbatas.

Muhammadiyah termasuk kelompok yang berada di tengah-tengah dua ekstrem itu. Muhammadiyah membedakan mana yang ibadah dan mana yang merupakan instumen untuk kesempurnaan ibadah. Maka, menurut Muhammadiyah,  arsitektur dan mebelair dalam masjid adalah persoalan duniawi; bahasa khutbah adalah duniawi; pengumuman pra-khutbah adalah dunia. Dalam konteks ini mungkin Muhammadiyah telah memiliki keputusan-keputusan formal, misalnya Putusan Tarjih dan keputusan-keputusan musyawrah lainnya, yang menurut penulis sudah sangat tepat. Tetapi dalam diskursus lesan dan sikap keagamaan warga Muhammadiyah, tampaknya ada beberapa hal yang perlu dipikirkan ulang. Persoalannya ialah: apakah penabuhan bedug sebagai tanda masuknya waktu shalat, bacaan ushalli sebelum takbirat al-ihram, pujian-pujian di anatara dua adzan itu termasuk dalam kategori ibadah? Ini berbeda dengan soal qunut, tambahan sayyidina, yang memang jelas menjadi bagian dalam ibadah.

Di luar aqidah dan ibadah, lapangan kehidupan manusia jauh lebih luas. Islam memberikan peluang yang sangat terbuka bagi ijtihad agar kehidupan manusia menjadi dinamis. Dengan keterbukaan itu, umat Islam ditantang untuk membangun kehidupan sesuai dengan tugasnya sebagai khalifah fi al-ardl. Dinamika sangat diperlukan untuk mencapai ihsan. Nabi Muhammad SAW menyatakan kewajiban umat Islam untuk ber-ihsan dalam segala hal, "innallaha katab al-ihsan ‘ala kulli syai' …." Makna ihsan sesungguhnya adalah berbuat sesuatu sebaik mungkin, dengan cara yang terbaik dan memberikan manfaat yang optimal. Tuntutan ber-ihsan akan menjadikan kehidupan manusia dinamis untuk menuju kesempurnaan hidup.

Hadis Nabi Muhammad SAW yang sangat populer menyatakan tingginya nilai ihsan dalam beribadah, "u'budillah kannaka tarah." Tetapi, seperti dinyatakan oleh hadis di atas,  terdapat wilayah ihsan yang sangat luas. Pertama, kita harus ber-ihsan dalam kehidupan sosial, yakni hubungan antarmanusia. Ber-ihsan ini tidak mungkin bisa dicapai hanya dengan modal moral individual, tetapi harus dengan bangunan sosial yang membentuk struktur masyarakat. Maka di sinilah terletak kehidupan yang dinamis,  yaitu proses tajdid sosial. Membangun peradaban utama adalah sasaran ber-ihsan itu. Dengan inspirasi al-Qur'an umat Islam harus mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk selalu berinovasi dalam rangka mencapai kesempurnaan hidup. Proses inilah yang disebut sebagai dinamika peradaban.


Tetapi, peradaban manusia tidak seharusnya menjadi satu-satunya sasaran dinamisasi ajaran Islam. Dinamisasi harus juga diarahkan untuk mewujudkan realitas bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan li al-alamin). Maka, hubungan antara manusia dan dunia fauna (muamalah ma'a al-hayawan) juga penting. Dalam dunia yang semakin maju, perilaku manusia terhadap hewan juga harus didasarkan atas moralitas yang tinggi. Nabi Muhammad SAW mewajibkan kita untuk memperlakukan hewan dengan penuh kasih sayang. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa ada seorang yang hidupnya bergelimang dalam dosa bisa masuk surga karena memberikan minum kepada seekor anjing yang sedang kehausan. Nabi Muhammad SAW juga memberikan contoh ber-ihsan itu dengan mengatakan, "apabila engkau menyembelih binatang, maka sembelihlah dengan cara yang terbaik, dengan menggunakan, misalnya, pisau yang tajam agar binatang yang disembelih tidak merasa kesakitan." Lebih dari itu, kita diperintahkan untuk ber-ihsan terhadap lingkungan, termasuk tumbuh-tumbuhan, daratan, lautan dan udara. Allah SWT memperingatkan agar kita tidak melakukan pengrusakan (fasad) lingkungan.

Al-Qur'an mendorong kita agar terus mendinamisasi kehidupan ini. Bagi umat Islam itu tidak mungkin dicapai tanpa mendinamisasi ajaran Islam. Artinya, ajaran Islam jangan menjadikan kita terpasung dan terbelakang; jangan malah menghambat kemajuan kita. Di sinilah perlunya reinterpretasi yang terus-menerus agar pemamahan kita bermakna bagi kemanusiaan universal, dan prilaku keagamaan kita mampu memberikan warna bagi bangunan peradaban. Melalui pemahaman seperti ini, akan terjadi pencepatan dinamisasi pemahaman agama yang menjadi penopang peradaban utama.  Dinamisasi itu mungkin saja akan membawa konsekuensi pemahaman agama. Pada masalah aqidah dan ibadah mungkin pemahaman literal akan lebih dominan, sedangkan dalam bidang muamalah pemahaman kontekstual akan lebih dominan. Para fuqaha' telah menciptakan kerangka  kaedah maqasid al-syari'ah (tujuan-tujuan syariah), konsep al-maslahah al-mursalah (kemaslahatan yang terbuka), syadd al-dzari'ah (membendung jalan) dan lain-lain, tujuannya adalah agar kehidupan manusia lebih dinamis. Dalam bahasa orang awan, itulah yang sesungguhnya dimaksud dengan substansialisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam. Teori maqasid adalah substansialisasi. Teori taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkan adalah kontekstualisasi. Dengan kata lain, teori yang pertama itu adalah proses induksi dan teori yang kedua adalah deduksi.

Dalam khazanah intelektual Islam, sesungguhnya sudah terdapat rumusan yang sangat baik untuk menyikapi purifikasi dan dinamisasi, yakni "al-ashl fi al-‘ibadah al-haram," dan "al-ashl fi al-asyya' al-ibahah." Masing-masing masalah agama dan dunia memiliki hukum yang berbeda yang berlaku pada wilayahnya sendiri. Pemikir besar seperti Ibn Taymiyah (w. 1328) memberikan contoh bagaimana rigidnya dalam soal aqidah dan bagaimana fleksibelnya dalam soal muamalah keduniaan. Dalam beraqidah umat Islam harus murni dan dibersihkan dari TBK (takhayul, bid'ah dan khurafat), tetapi dalam pemikiran politik, misalnya, Ibn Taymiyah sangat fleksibel. Bentuk atau institusi bisa berubah-ubah asal tetap menjadikan moral sebagai acuan utama.

Yang penting bagi kita sesungguhnya adalah sikap yang proporsional ketika membedakan antara masalah agama (aqidah dan ibadah) dan masalah dunia (muamalah). Dalam dokumen ideologi Muhammadiyah, hal itu telah banyak dibicarakan. Yang diperlukan, sekali lagi, adalah substansialisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam terhadap situasi kontemporer.








Minggu, 10 Agustus 2014

KEPEMIMPINAN PRREMPUAN DALAM ISLAM

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Oleh: Basri B. Mattayang

PENDAHULUAN

Dalam mengawali tulisan ini, saya ingin memberikan satu untaian anecdot yang mengatakan “seandainya Ibuku tidak ada apakah mungkin saya lahir “ Untaian anecdot yang saya kemukakan itu pada dasarnya sangatlah sederhana namum ketika kita menelaah dan memaknainya maka secara implisit akan tersiratlah suatu makna yang sangat besar sekali tentang peranan seorang perempuan yang pada zaman jahiliyah menjadi ajang bulan-bulanan bagi kaum laki-laki, perempuan dianggap sebagai sampah dan bahkan dianggap sebagai sumber malapetaka yang tak mungkin mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan hidup. Sehingga kaum Bapak pada saat itu merasa malu dan jengkel ketika istri-istrinya melahirkan anak perempuan, merahlah muka Bapak-bapak tersebut dan sebagai konsekuensinya adalah anak tersebut dikubur hidup-hidup. Itulah realitas sejarah pada zaman jahiliyah yang diceritakan dalam Al-qur’an.

Sekarang diera modern dimana kebudayaan manusia semakin tinggi serta paradigma berpikir yang kian maju justru akan merekonstruksi kembali kehidupan Jahiliyah masa lampau dengan jahiliyah versi baru (modern), yang saya biasa diistilahkan sebagai dari jahhiliyah ortodoks ke jahiliyah kontemporer. Ini saya dasarkan kepada suatu fenomena saat penyelenggaraan Pemilu 1999 yang lalu muncul kelompok-kelompok elit politik dengan tendensi politiknya mengatasnamakan Islam menolak Presiden perempuan dalam hal ini perempuan dikungkung haknya untuk berkarir didunia politik (pemerintahan). Saya kira dalam aturan perpolitikan kita dengan konstitusi negara yang ada tak satupun pasal dan ayat yang melarang perempuan untuk memimpin, lalu bagaimana dengan Islam? Islamkan melarang kepemimpinan perempuan!!! Islam yang mana? Islam datang dengan membawa pesan moral kemanusiaan bebas dari diskriminasi dan stratafikisi sosial sefra bebas pula dari belenggu dan tirani kemanusiaan sehingga Islam bukan saja membebaskan manusia dari belenggu ketuhanan yang politeis menuju Tuhan Yang Esa tetapi Islam pula menyebabkan kesetaraan-kesetaraan gender. Sehingga tidaklah salah ketika Islam menjadi sarana yang tepat untuk mempersatukan visi dan misi kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Tetapi visi dan misi yang demikian tingginya dalam Islam tidak terwujud secara menyeluruh dalam kehidupan nyata. Hal inilah yang selama ini dikritik oleh kalangan aktifis dan intelektual yang memperjuangkan hak-hak dalam pemberdayaan perempuan.

PEREMPUAN DALAM SEJARAH ISLAM

Sejarah telah menunjukkan bahwa kedudukan perempuan dalam masa Nabi Muhammad SAW tidak hanya dianggap sebagai istri dan pelengkap suami saja tetapi juga dipandang sebagai anak manusia yang mempunyai kesetaraan dengan laki-laki

hadapan Tuhan. Rasulullah telah memulai tradisi baru dalam memandang perempuan, pertama ia melakukan dekontruksi terhadap cara pandang masyarakat Arab yang masih didominasi oleh cara pandang Fir’aun, setiap kelahiran anaknya yang perempuan maka serta merta muka mereka menjadi masam (Al-Qur’an An- Nahl : 58 - 59) karena itu Nabi secara demonstratif sering membanggakan anak perempuannya dihadapan mereka dengan tanpa malu-malu menggendong anak perempuannya di muka umum. Bahkan dalam riwayat Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Bahwa tidak seorang Muslim yang memiliki dua anak perempuan kemudian ia memperlakukannya dengan baik kecuali ia akan dimasukkan dalam syurga”.

Untuk itu maka Nabi tak jarang melakukan pembelaan terhadap kaum perempuan di depan siapapun dan dalam kesempatan apapun. Karena Rasulullah SAW sadar bahwa membela perempuan adalah komitmen kemanusiaan bahkan beliau menyatakan, “ Perempuan adalah pelita dalam rumah tangga”. Selain itu sifat adil terhadap semua istri-istrinya juga ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bukti lain Rasulullah SAW tidak pernah melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya. Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baiknya kamu adalah yang berbuat baik terhadp istri-istrimu”. Ini sangat kontradiktif dengan filosof ternama Nietze yang memandang perempuan sebagai sosok yang tidak pantas mendapat sedekah, bahkan dalam bukunya ia berpesan setiap pergi dengan perempuan jangan lupa dengan cemeti (Mahmud Abdul Hamid, 1996)

Dengan demikian, secara teoritis ide kesetaraan laki-laki dan perempuan telah ada dalam sistem etika Islam, bahkan pada masa ini perempuan dapat melakukan aktifitas secara leluasa dan tidak dibedakan dengan kaum laki-laki sehingga dapat dikatakan bahwa masa ini adalah masa ideal bagi kaum perempuan.

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM KEPEMIMPINAN

Terus terang secara kepemimpinan perempuan dalam Islam memang tidak begitu mendapat porsi pembahasan yang cukup proporsional. Dalam wacana Islam di Indonesia persoalan ini juga masih jarang dibicarakan, demikian halnya dalam penulisan isu perempuan dalam sejarah juga sangat minim, ini dikarenakan oleh penulisan sejarah yang androsentris, dalam buku-buku sejarah kita hal-hal yang menyangkut heroisme transmisi keilmuan, ketokohan dan lainnya selalu mengambil lelaki sebagai tokohya. Ini sangat ditentang oleh Leila Ahmed seorang mahaguru Muslimah pada universitas terkemuka di Amerika yang dalam bukunya yang bertajuk “Women and Gender in Islam” ia mensinyalir bahwa sejarah yang androsentris dan bias gender ini harus dibongkar karena ini tidak sesuai dengan fakta sejarah, bahkan dalam statemen tersebut Leila Ahmed mengangkat suatu gambaran bahwa pada masa Pralslam di Mesopotamia telah ada kepemimnan perempuan dan ini diperkuat lagi dengan penemuan arkeolog James Mellart yang menemukan perkampungan Neolitik yang bemama Catalhuyuk di mana dalam perkampungan tersebut terdapat lukisan- lukisan dengan figur perempuan.

Lalu kalau masa lalu perempuan diberdayakan mengapa sekarang dibatasi? Apakah karena ada batasan dari Islam? Namun Islam yang manakah yang membatasi itu? Melihat sejarah awal Islam, Rasulullah SAW tidak pernah melarang perempuan untuk beraktifitas, bahkan dalam Al-Qur’an tidak satupun ayat yang melarang perempuan untuk menjadi pemimpin sekalipun, sebaliknya Al-Qur’an secara spesifik menuturkan kesuksesan ratu Bulqis dalam memimpin negeri Saba. Maksud Tuhan dengan ayat ini adalah untuk membuktikan bahwa ternyata perempuan juga bisa memimpin.

Pada dasamya yang menolak kepemimpinan perempuan bertolak dan surat An-Nisaa ayat 34 : ARRIJAALU QAWWAMUUNA ALANNISAA’ BIMAA FADDHOLALLAAHU BADHUHUM ALAA BA’DI. Dan hadist Rasulullah SAW yang berbunyi : LAA YUFLIHA QAUMUN WALAU AAMRAHUM IMRA’ATAN. Sekarang saya mengajak saudara-saudari untuk menelaah kedua dasar tersebut:


Mengenai Surat Annisaa : 34 secara tekstual adalah benar laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan, lalu bagaimana dengan konteks ayat tersebut. Makna QAWWAAM di sini tidak tunggal. Pertama QAWWAAM dapat berarti kepemimpinan, tetapi kepemimpinan ini tidak permanen dan tidak disebabkan oleh kriteria biologis sebab di belakangnya dikaitkan dengan pemberian nafkah dan kelebihan lelaki, ketika kemampuan itu tidak ada maka menurut Imam Malik kepemimpinan itu bisa gugur. Kedua QAWWAAM diartikan sebagai orang yang punya tanggugjawab terhadap keluarga. Ketiga QAWWAAM diartikan sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Dalam konteks lain kita mesti memahami Asbaabun Nuzul ayat tersebut. Menurut DR. Said Aqil Siraj (mengutip pendapat Imam Abu Hassan Ali Ibn Ahmad Al Wahidi) mengatakan bahwa Asbaab turunnya ayat ini adalah berawal dari seorang pembesar dari golongan Anshar, Saad Ibn Rabi telah memukul istrinya, Habibah yang menolak untuk mengadakan hubungan intim, oleh Habibah perlakuan ini tidak diterima dan bermaksud mengadukan ke Nabi Muhammad SAW dan oleh Nabi segera memerintahkan Habibah dan Ayahnya untuk mengadakan Qishash, namum belum sempat keduanya melaksanakan Qishash, Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW menyampaikan ayat tersebut. Akhirnya Nabi Muhammad SAW memanggil keduanya untuk dikabari mengenai ayat tersebut dan Qishash pun dibatalkan.

Mengenai hadist shahih Bukhari, LAA YUFLIHA QAUMUN WALAU AAMRAHUM IMRA’ATAN, yang artinya tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan perkaranya kepada perempuan, menurut Syafi Hasyim hadist tersebut tidaklah bisa berlaku secara umum. Asbab Alwurud hadist ini adalah merespon penggantian seorang kisra persia oleh anak perempuannya. Mengapa Nabi bereaksi demikian karena ada alasan lama bahwa si Raja Kisra semasa hidupnya pernah disurati Nabi untuk masuk Islam, namun Kisra menolak sekaligus surat Nabi tersebut disobek, jadi hadits ini secara khusus merupakan reaksi atas pengangkatan putri Kisra menjadi pengganti ayahnya

Dengan menelaah dan memahami kedua dasar tersebut di atas, baik secara tekstual maupun kontekstual maka saya berasumsi bahwa sebenarnya yang dijadikan dasar oleh orang yang menentang pemberdayaan perempuan dalam hal kepemimpinan tidaklah culcup kuat dari segi agama sebab agama secara jelas-jelas tidak mengemukakan tentang kriteria biologis bagi kepemimpinan perempuan. Kepemimpinan dalam Islam yang dituntut adalah keadilan, kemampuan. Tolak pemimpin perempuan tolaklah dengan pertanyaan apakah ia mampu atau tidak, jangan menolak karena ia perempuannya tapi tolaklah karena kapabilitinya yang kurang. Karena mungkin kita sependapat bahwa persoalan boleh tidaknya perempuan dalam memimpin adalah masih berada dalam ruang yang siap diperdebatkan, jadi kalau ada yang berpendapat lain menurut saya itu sah-sah saja dan tidak boleh dikecam

KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut di atas secara ringkas saya simpulkan bahwa pemberdayan perempuan disegala bidang, apakah di legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif sepanjang ia kapabel adalah manusiawi dan justru tidaklah manusiawi ketika pemberdayaan perempuan tersebut dicekoki dan dikungkung dengan berbagai dalih atas dasar tendensi pribadi atau kelompok.

Demikian makalah ini, yang saya sadari masih sangat singkat dan sangat sederhana dalam membahas hal yang aktual seperti judul tersebut di atas. Semoga ini menjadi rangsangan bagi saudara-saudari untuk lebih inisiatif dalam mengkaji dan menggagas mengenai pemberdayaan perempuan Sehingga walaupun tidak sampai pada kebenaran mutlak namun dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan yang ada pada saat ini. Amiiiiiin........














Kamis, 07 Agustus 2014

PENTINGNYA BELAJAR SEJARAH DALAM UPAYA MEMBANGUN BANGSA


Basri B Mattayang
(Sekretaris Litbang PDM Gowa)

PENDAHULUAN

Gong reformasi telah ditabuh pada bulan Mei 1998 yang lalu, bersamaan dengan suaranya yang menggelegar dan mendayu-dayu terpetik harapan dari ± 2530 juta manusia yang mendiami negeri ini berharap kiranya gong tersebut dapat mengeluarkan gema demokrasi, pemberantasan KKN, menghilangkan kemelaratan Sosial Serta berbagai harapan yang lain dan tentunya menjadi amanah bagi segenap tokoh-tokoh pengawal dan penabuh gong reformasi tersebut.

Namun belum separuh perjalanannya serta suaranya yang masih terngiang ditelinga ternyata reformasi diklaim nyaris kehilangan idealismenya sehingga apa yang menjadi agendanya pun belum secara rnaksimal terealisasi. Negeri yang aman, tenteram, damai, berwibawa, bebas KKn, Sistem pemerintahan yang jelas, berintegritas, disegani oleh negara lain serta dapat berdiri sendiri dari berbagai aspek tanpa interpensi negara lain gagal dibentuk oleh orde reformasi, dimana keamanan yang tak terjamin, ketentraman yang tak kunjung datang, KKN yang merajalela, sistem pemerintahan yang belum jelas, demokrasi yang kadang muncul kadang pula di pasung, ketergantungan terhadap negara lain, gonta ganti pemimpin nasional secara “prematur” dan lain sebagainya masih tetap menghiasi dan mengiringi gelegaran dan dayuan gong reformasi. Kembali reformasi “gagal” mengulang bentuk kejayaan Sriwijaya di abad  VII dan Majapahit di abad  XIV.

Dari asumsi tersebut diatas maka tidaklah salah kalau untuk saat ini masih ada orang yang mengatakan “orde baru dan reformasi serupa tapi tak sama” dalam pengertian lain sama wajah dan bentuknya namun beda dalam tempo peristiwanya.

Putaran roda sejarah memang tidak akan mungkin terulang narnun tentulah bentuk dan kesamaan suatu peristiwa pasti berulang, kejayaan dan kemegahan Sriwijaya di abad  VII dan Majapahit di abad  XIV tentulah tidak akan terulang dalam waktu (tempo peristiwanya) aktor dan obyekya dimasa sekarang ini, namun bukan hal yang tidak mungkin bentuk dan kesamaan kejayaan kedua kerajaan masyur di dunia pada saat itu berulang dimasa sekarang dalam tempo, aktor dan obyek yang lain. Sebagai mana statement Nugroho Noto Susanto dalam hakekat sejarah dan metode sejarah mengatakan :

“ tetapi kalau kita mengatakan : “Sejarah berulang” maka yang kita maksudkan bukanlah kisah masa lampau yang berulang melainkan bentuk dari masa lampau itu yang berulang”(Nugroho, 1964:11)



SEJARAH SEBAGAI GURU DALAM KEHIDUPAN

Salah satu bentuk sejarah adalah bersifat edukatif (Husein Haikal, 2002:17) artinya secara substansial sejarah sebagai suatu peristiwa masa lampau yang benar-benar terjadi dalam bentuk lakon yang berbeda tentunya akan menjadi pelajaran yang berguna bagi kehidupan manusia sekarang menuju kehidupan yang akan datang namun tak dapat dipungkiri bahwa untuk saat ini masih terdapat orang-orang yang menafsirkan sejarah sebagai hanya peristiwa masa lampau tanpa melihat bahwa sejarah tersebut dapat juga ada pada masa sekarang bahkan masa yang akan datang sebagaimana Ruslan Abdul Gani memberikan defenisi sejarah bahwa :

“Sejarah itu adalah satu ilmu yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan dimasa lampau, serta segala kejadian-kejadiannya dengan maksud untuk kemudian menilai secara kritis seluruh hasil penelitian dan penyelidikan tersebut untuk akhirnya dijadikan perbendaharaan pedornan bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah program dimasa depan“ (Hugiono, 1992:14)



Berangkat dari statement tersebut maka ilmu sejarah ibarat penglihatan tiga dimensi, pertama penglihatan kemasa silam, kemudian kemasa sekarang dan akhimya kemasa yang akan datang dengan pengertian lain bahwa program yang akan dilaksanakan dimasa depan yang sementara direncanakan di masa sekarang tidak bisa lepas dari berbagai pengalamam masa lampau.

Karena itu sejarah masa lampau harus kita pelajari dengan berpijak kepada kenyataan-kenyataan perkembangan situasi sekarang dengan mencakupkan berbagai harapan-harapan yang berprespektif dimasa yang akan datang. Dalam hubungan ini sejarah mengajarkan bagaiman dalam situasi tertentu kita harus bertindak dengan sebaik-baiknya. Pemikiran inilah yang melatari dari ungkapan Historiya Magistra Vitae (sejarah menjadi guru kehidupan) yang pada dasarnya menjadi batu penjuru pernyataan Niccolo Machiavelli bahwa dengan membanding-bandingkan peristiwa dari masa lampau dan dan masa yang baru-baru saja berlalu kita dapat menimba ajaran-ajaran yang praktis (Poelingoman, 2002:12)



Dalam melalui perjalanan hidupnya suatu bangsa adalah laksana kelompok pendaki gunung, setiap kali mereka berhenti dan menengok kebelakang (William H. Dan Soeri Soeroto, 1984:75) yang selanjutnya pandangan dan pemikirannya diarahkan kedepan yakni tujuan yang ingin dicapai. Perjalanan yang mereka lalui mereka renungkan dalam berbagai interpretasi sambil menafsirkan perjalanan selanjutnya dengan segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi baik itu berupa peluang ataupun hambatan - hambatan yang mungkin muncul sebagai penghalang perjalanan selanjutnya.

Dari berbagai uraian tersebut maka mungkin tidaklah terlalu berlebihan kalau saya mengatakan bahwa kalau mau tahu kesalahan kita, maka mau tidak mau harus belajar dari sejarah, kita dapat melihat kasus Aceh. Kalau mau tahu perasaan orang Aceh maka harus ditanyakan kepada orang Aceh. Bagaimana seandainya Yogyakarta dihilangkan hak istimewanya, marahkan orang yogyakarta walaupun kata istimewa tersebut tidaklah mernberikan keuntungan yang segnifikan. Bagaimana ketika perasaan orang-orang islam yang mengklaim komunitasnya sebagai penganut agama cinta damai dianggap teroris, bagaimana perasaan Kahar Muzakkar yang bersama-sama dengan pejuang lainnya ikut berjuang dalam merebut kemerdekaan yang kemudian dalam penentuan posisi strategis di TNI ia kurang diperhitungkan, serta berbagai kejadian-kejadian, dan pengalaman-pengalaman lain yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan-kebijakan selanjutnya.



PERANAN SEJARAH DALAM UPAYA MEMBANGUN BANGSA

Dari sejumlah fenomena dan problematika kebangsaan tersebut diatas dengan berbagai tawaran-tawarannya maka selanjumya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa peranan sejarah dalam upaya membangun bangsa kedepan.

Pada dasamya untuk membangun suatu tatanan bangsa yang ideal bagi negara kita sesungguhnya bangsa indonesia tidaklah kekurangan konsep. Begitu banyak konsep-konsep sistem tatanan pemerintahan masa lampau yang diwariskan oleh sejarah. Konsep-konsep yang ditinggalkan tersebut sangat beragam disesuaikan dengan pertimbangan baik dari segi ekologi, geografi maupun kebutuhan dan keinginan rnasyarakat masa itu. Misalnya konsep negara atau kerajaan Sriwijaya diabad  VII dengan sistem negara maritin sesuai dengan letaknya yang stretegis di tepi selat malaka sehingga mampu menjadi wilayah perdagangan yang ramai diabad tersebut (Wijaya, 2000:54) adalah suatu konsep negara yang tentunya menarik untuk dikaji guna rnembangun konsep negara maritin Indonesia yang secara geografis lebih luas wilayah lautnya, demikian halnya pemersatuan nusantara oleh Pati Gajah Mada dalam pemerintahan Prabu Hayang Wuruk diabad  XIV (Sukmono, 1983:71) yang menjaga wilayahnya dengan mengadakan hubungan yang baik dengan negara-negara tetangga juga merupakan suatu konsep yang ideal dalam membangun bangsa Indonesia yang integritas. Serta konsep pemerintahan Ratu Simo dikerajaan Kaling sekitar tahun 674 (Wijaya 2000:51) yang memerintah dengan prinsip kejujuran dan keadilan siapapun yang bersalah apakah ia rakyat, pejabat atau bahkan keluarga raja harus mendapat hukuman yang setimpal, adalah konsep pernerintahan yang sangat cocok di Indonesia yang merupakan negara hukum dan masih banyak lagi contoh-contoh peristiwa yang telah dilakonkan oleh sejarah dimasa lampau yang mencerminkan bentuk membangun bangsa yang adil, tenteram, konsisten dan demokratis.

Namun suatu masalah yang kemudian timbul sekarang adalah perasaan risih, enggan dan bahkan “malas” untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah masa lampau yang muncul hanyalah pandangan dan hayalan jauh kedepan tanpa mau menengok kebelakang serta pikiran yang jauh menerobos angkasa namun tak mau memjkirkan dan rnelihat bumi yang ia pijak.

Akhirnya melalui tulisan  sederhana ini saya ingin memberikan suatu gagasan marilah ditengah bangsa Indonesia mengalami krisis pemerintahan dalam membangun tatanan pemerintahan yang demokratis kita munculkan keinginan untuk mengkaji kembali tatanan pemerintahan tradisional yang monarki dan dipandang bermuatan unsur-unsur demokratis.

Sesungguhnya gagasan ini menunjuk bahwa untuk mengkaji sejarah dalam membangun tatanan pemerintahau yang lebih baik dan jika perlu konsep demokrasi yang diserap itu diberi nuansa budaya politik tradisional yang dipandang tetap memadai, sebagai ilustrasi dapat dikaji pemerintahan tradisional monarkhi di Sulawesi Selatan yang meskipun raja dipilih dan diangkat dari Putra Mahkota (Anak Patola) namun tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Segala keputusan dan kebijaksanaan harus Iebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Hadat yang anggotanya adalah kepala pemerintahan daerah, bahkan penobatannya pun diawali dengan ikrar yang pada intinya mengatur hubungan antara raja dan rakyat yang mengatur antara hak dan kewajiban. Raja tidak boleh mengambil milik rakyat secara semena-mena ia dapat minta apa yang patut diminta, ia harus menukar apa yang harus ditukarkan dan harus memberi yang wajib diberi, intinya antara raja dan rakyat ada hubungan yang harmonis seperti yang terdapat dalam Aru-nya perang Gowa :

“IKAU JE’NE KARAENG (engkau ibarat air, karaeng) NAIKAMBE BATANG MANMANYU (dan aku ibarat batang kayu) SOLONGKO JE’NE (mengalirlah wahai air) NAMAN MANYU BATANG KAYU (kurela hanyut bersamamu)” (SYAHRUL YASIN LIMPO Dkk, 1995:XIV)



Namun patut diperhatikan  bahwa pengkajian sejarah sepatutnya juga mengkaji hal-hal yang tidak patut dipertahankan atau patut tidak diulangi apabila peristiwa itu dibarengi dengan kelakuan yang tidak diinginkan. Dalam banyak kasus pengkajian sejarah perjuangan bangsa kurang memperhatikan hal-hal dan perilaku yang seharusnya diungkapkan untuk menyadarkan untuk tidak terantuk lagi pada batu antukan yang sama, lagi-lagi pada posisi seperti itu sejarah kembali menjadi pelajaran yang berharga dalam menjalani bahtera kehidupan sekarang dalam rangka rnenempuh hidup dimasa datang.



KESIMPULAN

Dari pembahasan singkat tersebut diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa dari segala bentuk problematika kebangsaan yang melanda bumi pertiwi ini pada dasamya lahir dari kurang adanya keinginan untuk rnenggapai kembali segala peristiwa masa lampau guna dijadikan sebagai konsep dasar dalam membangun bangsa dan Negara tercinta ini.

Olehnya itu sudah seharusnya sekarang kita mengambil hikmah dari segala problematika tersebut dengan memunculkan keinginan untuk menggali kembali knasanah sejarah masa lampau yang ternyata banyak rnenyisakan pelajaran-pelejaran berharga dalam membangun negara Republik Indonesia yang ideal dan dari situlah akan nampak bagaimana peran sejarah dalam membangun bangsa dan negara ini.



DAFTAR BACAAN

Haikal, Husain, Prof Dr. 2002. Majalah Gerbang. Yogyakarta. Umy

Hugiono, 1992. Pengantar Ilmu Sejarah, Jakarta, Aneka Cipta

Noto Susanto, Nugroho. 1964. Hakikat Sejarah dan Asas Metode Sejarah. Jakarta Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.

Poelinggoman, Edward. 2002. Makalah Seminar Nasional IKAHIMSI DI Auditorium Amanagappa UNM

Soekmono. 1983. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II.  Jakarta. Kanisius

William, Soeroto, Soeri. 1984. Pemahaman Sejarah Indonesia. Jakarta. LP3ES

Yasin Limpo, Syahrul. 1995. Sejarah Budaya dan Peristiwa Gowa. Sungguminasa. Pemda Tk II Gowa